Distorsi dan Hampir Epilepsi

Naufal R. Indriansyah
4 min readApr 3, 2016
Heals-Void. Copyleft: hpsendiri.

Pertama-tama mohon maaf atas ketidakhadiran saya Sabtu kemarin dalam sebuah acara besar (wisudaan) di kampus. Walaupun tidak banyak yang mencari-cari saya, tetap saja ada rasa “gak enak” karena cukup banyak teman-teman yang saya kenal lulus pada hari itu. Sekali lagi mohon maaf, semoga kita masih bisa bersua di lain waktu.

Adalah kebodohan ketika saya terlanjur membeli tiket untuk sebuah acara pada hari Sabtu, karena setelahnya saya baru ingat bahwa hari itu adalah hari bersejarah bagi teman-teman saya yang sudah capek-capek kuliah dan akhirnya bisa lulus. Sempat terpikir untuk tidak jadi datang acara yang dimaksud, tapi saya akhirnya bersikukuh untuk tetap datang (padahal karena sayang uang).

Tapi bukan berarti saya menyesal sepenuhnya. Bahkan saya sebenarnya tidak merasa menyesal sama sekali pada akhirnya.

Kemana saya? Saya datang ke sebuah gig indie lokal.

Saya mungkin tidak segitunya terjun ke dalam sebuah skena musik indie. Pertama, saya merasa belum cukup mendengar semua karya musisi-musisi lokal. Kedua, saya terhitung jarang datang dalam sebuah acara atau gig indie. Ketiga, gaya saya kurang indie.

Acara yang saya maksudkan di atas, adalah sebuah gig indie lokal kota Bandung yang sudah beberapa kali diadakan sejak tahun lalu. Untuk pertama kalinya acara ini dilaksanakan di sebuah tempat yang bersejarah: New Majestic Centre. Dan ya, tempat ini memang keren, mungkin terlampau keren untuk sebuah acara yang tidak megah-megah amat.

Terlepas dari terpukaunya saya pada acara itu, terdapat beberapa pembelajaran yang bisa saya ambil:

  1. Populasi lelaki berambut gondrong cukup banyak di Bandung, dari yang semi-keriting seperti Rekti Yoewono, sampai yang lurus seperti Axl Rose. Hipotesa saya sekitar 30% lelaki muda Bandung berambut semacam itu, dan sekitar setengahnya datang pada malam itu.
  2. Terjadi peningkatan populasi pada perempuan berambut pendek tanpa poni, dengan sepatu Vans dan celana cutbray.

dan,

3. Eksistensi saya dalam sebuah skena

Jika kalian ingin melihat langsung poin nomor satu dan dua, silakan coba datang sendiri ke sebuah pertunjukan seperti yang saya datangi. Karena saya sejujurnya tidak akan membahas kedua poin tersebut.

Kata-kata eksistensi dalam poin nomor tiga mungkin terkesan mendalam dan sebenarnya sulit dipahami. Tapi, entah kenapa, kesendirian saya dalam acara kemarin adalah sebuah pengalaman yang transedental.

Saya berharap bertemu dengan orang yang saya kenal malam itu, karena ternyata cukup meletihkan berdecak kagum sendiri tanpa adanya lawan bicara. Tapi mau bagaimana lagi, bahkan sampai saya celingak-celinguk seperti orang bodoh pun tidak saya temukan wajah-wajah familiar. Alhasil, fokus saya tertuju hanya pada distorsi gitar, dentuman drum, dan lampu yang bisa membuat manusia terserang epilepsi mendadak.

Setidaknya, ketiga hal tersebut adalah teman saya malam itu.

Entah kenapa fusi dari suasana-suasana tersebut membentuk satu nuansa, bak ekstasi. Saya belum pernah mencoba ekstasi, tapi kata-kata ini sering dipakai orang untuk menggambarkan hal-hal yang membuat candu. Dan saya, meski hanya beberapa jam saja menikmati nuansa tersebut, setelahnya dibuat “pengen lagi”.

Ada gejolak dalam diri saya beberapa waktu ini. Tidak ingin terlalu jauh mencap diri sedang krisis eksistensi, tapi saya memang sedang kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental soal diri, dunia, dan apa yang harus saya lakukan. Saya menjelma jadi orang yang tidak nyaman — setidaknya di mata teman-teman saya — untuk diajak bercengkarama. Karena sebagian diri saya memang sedang menolak keberadaan manusia, meski harus sering dipaksa karena butuh. Saya sendiri kerap merasa kesal, karena ternyata banyak mudarat yang ditimbulkan.

Terlepas dari hal menjijikan tersebut, saya selalu mencoba mencari pelarian, dan datang ke acara tersebut adalah salah satunya. Pernahkah kalian merasa pantas atau tidak, berada dalam sebuah ruang dan waktu tertentu? Meski saya bukanlah aktor utama bahkan aktor pembantu dalam skena musik indie, tapi saya merasa bahwa saya pantas ada di skena tersebut — meski hanya sebagai penonton gadungan — setidaknya dalam ruang dan waktu yang pekuliar saat itu.

Sesaat, saat sebuah band bernama Sigmun bermain, saya memejamkan mata, menunduk dan mencoba menyerapi musik mereka.

Saya sudah merasa seperti berdzikir saja.

Ada sebuah perasaan yang sulit dijelaskan dari pengalaman tersebut, seperti dalam ruangan itu, hanya ada saya dan Sigmun. Saya tidak peduli dengan orang-orang lain yang ada dalam ruang tersebut, bahkan semua orang yang saya kenal diluar sana.

Setidaknya, meski hanya sekian puluh detik, I know where I belong.

Entah mungkin ini yang dimaksudkan dalam tema acara tersebut: sebuah keintiman, antara sang pencipta musik dan pendengar. Jika memang benar, berarti panitia sudah dengan sukses membuat saya intim dengan singkat dengan para musisi malam itu, meski saya kenal mereka dan mereka tidak mengenal saya.

Dan untuk itu saya ucapkan terima kasih.

Perpisahan dengan segala hal malam itu, adalah sebuah kesedihan bagi saya. Mungkin terkesan berlebihan, tapi saya tidak sabar menunggu hal serupa ada lagi di kota ini. Biarkan saya berekstasi sebentar. Karena lelah dengan pikiran sendiri itu sesungguhnya menyiksa.

Dan dari situ saya harap ada bagian diri saya yang bisa berkembang, tidak harus jadi seperti mereka yang di atas panggung, tapi setidaknya memberikan ekstasi yang sama untuk orang lain.

Siapa tahu, mungkin rambut saya sudah seperti Rekti Yoewono ketika kesempatan itu datang lagi.

Terima kasih pada segenap panitia An Intimacy: Departure yang sudah memberikan saya pengalaman-yang-lebay-sampai-saya-nulis dan untuk tiketnya yang murah.

Dan untuk kamu yang tiketnya melayang, lain kali aku ingin kamu merasakan ekstasi yang sama denganku.

--

--

Naufal R. Indriansyah

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between