Kader adalah Bingkai

Naufal R. Indriansyah
4 min readNov 24, 2015

--

http://i2.cdn.turner.com/cnnnext/dam/assets/131120092816-23-mona-lisa-stolen-restricted-horizontal-large-gallery.jpg

Belakangan ini saya banyak ditanya-tanya oleh orang-orang berkepentingan tentang kaderisasi. Kaya saya paham banyak aja tentang kaderisasi. Tiga bulan memang saya menjadi otak dalam kaderisasi di sebuah organisasi. Tapi hal itu sebenarnya tidak membuat saya paham tentang kaderisasi sepenuhnya. Maksudnya saya merasa masih harus banyak belajar juga tentang kaderisasi dan tetek bengeknya.

Tapi pertanyaan-pertanyaan terkait pun membuat saya sempat merenung. Kenapa saya yang ditanya? Bukan ketua nya? Atau kenapa gak nanya aja langsung ke yang “ngurus”? Kan jadinya saya juga merasa kredibel tentang kaderisasi, padahal gak gitu.

Gini ya, dari sepengalaman saya jadi korban sekaligus tersangka dalam sebuah kaderisasi, yang namanya kaderisasi itu gak cuma materi-metode-penilaian doang. Kaderisasi itu, jauh diantara tiga hal tersebut, ada lagi yang lebih penting yakni: pengkader, kader, kaderisasi, serta pemaknaan dari ketiga hal tersebut.

Saya gak akan jauh-jauh ngomongin tentang kaderisasi yang biasanya ada di kampus. Orang-orang saya rasa harus lebih memaknai kaderisasi lebih dalam, dan sadar bahwa kaderisasi itu selalu terjadi. Kaderisasi itu bukan cuma osjur-osjuran atau kaderisasi di unit doang, mas, mbak. Kita itu dikader setiap saat. Mungkin sering kita denger dan normatif kali ya, cuma emang itu bener sih (menurut saya).

Cadre

Kaderisasi, seperti kita pahami bersama, adalah sebuah bentuk proses pendidikan atau pelatihan, maka dari itu bisa kita pecah menjadi kader-isasi. Kader berasal dari kata cadre yang berarti (kata Google) a small group of people specially trained for a particular purpose or profession. Kata ini awal mulanya berkembang di Perancis sekitar tahun 1830. Secara literal cadre berarti a frame of picture. Cadre juga sering identik dengan komunisme dimana salah satunya bisa kita perhatikan dalam catatan-catatan Mao Tse Tung. Ia menyadari betapa pentingnya sebuah pelatihan bagi anak-anak muda agar keturunan-keturunannya bisa ada di “jalan yang benar”, maksudnya adalah ajaran Marxisme-Leninisme.

Sangat minim memang literatur yang menjelaskan etimologi dari kader, terutama pemaknaan sebuah “bingkai” menjadi kata yang identik dengan murid atau pelatihan atau pendidikan. Namun saya sendiri menafsirkan bahwa makna cadre sebagai a frame of picture, adalah bahwa kader merupakan penjaga dari nilai-nilai yang sudah dicita-citakan pendahulu, selayaknya bingkai merupakan penjaga dari sebuah gambar atau lukisan yang sangat bernilai. Sang seniman lukisan menuangkan segala hal yang ada pada dirinya — waktu, tenaga, pikiran — yang mana semuanya menjelma menjadi satu karya yang amat berharga.

Seorang kader, selayaknya, meneruskan dan terus menjaga cita-cita yang diidamkan pendahulunya. Tapi seringkali seorang kader salah mengerti apa yang sebenarnya diajarkan. Hal ini juga terjadi pada lukisan, dimana ketika kita salah memilih bingkai maka makna yang coba disampaikan dari lukisan tersebut menjadi salah atau misintepretasi. Salah seorang pemimpin perusahaan bingkai ternama di New York, Eli Wilner, berkata:

“The wrong frame will destroy the artist’s intentions.”

Dari penafsiran saya yang tidak seberapa saya ini, saya yakin bahwa seorang pengkader memilih kadernya. Seorang pengkader berhak menolak orang yang ingin belajar dari dirinya, dan seorang kader tidak akan menjadi seorang kader juga jika ia memang tidak mau menjadi kader dari seorang pengkader dan tidak terlibat dalam proses kaderisasi. Selanjutnya, Eli Wilner berkata:

“I would prefer to view a work of art unframed than to put it in the wrong frame”

Tapi sebuah lukisan menjadi tidak ada maknanya juga bagi orang lain ketika tidak berbingkai, maksudnya jika tidak dipajang. Maka ya mau tidak mau, sebuah lukisan haruslah dipajang agar bisa dilihat orang banyak.

Mari bermain sedikit analogi:

Pengkader = pemilih bingkai/penjaga museum/kurator/penanggung jawab pameran

Pendahulu/tetua = seniman

Ajaran dan nilai-nilai = lukisan/foto

Dari situ kesulitannya adalah menganalogikan kaderisasi itu sendiri. Pemilihan bingkai mungkin terpikirkan, tapi analogi keseluruhannya menjadi invalid karena memilih bingkai sama dengan memilih kader saja. Kaderisasi mungkin saja merupakan seluruh proses mulai dari memilih bingkai yang tepat sampai orang-orang bisa mengerti intensi dari seniman tersebut.

Mungkin bisa saja pengertian orang-orang terhadap karya seniman tersebut menjadi tujuan dari seniman tersebut. Dalam artian sang seniman akhirnya mencapai cita-citanya, yakni membuat orang mengerti akan maksud dari lukisannya.

Kapan kaderisasi dikatakan berhasil? Banyak orang berpendapat kaderisasi berhasil jika ajaran-ajaran dapat diamalkan dan sang kader berhasil juga mengkader orang-orang setelahnya. Tapi apakah ini berarti sebuah lukisan mampu membuat seseorang yang memperhatikan sebuah lukisan dan mengerti maknanya menjadi ahli bingkai dan membingkai lukisan yang sama?

Hmm, nampaknya analogi saya pun invalid. Maaf ya.

Terus Apa?

Pelajaran yang bisa diambil dari penafsiran abal saya adalah bahwa, kaderisasi itu tidak akan pernah berhenti. Kader sebagai sebuah bingkai, merupakan sesuatu hal yang abadi. Ketika lukisan dan bingkai menyatu, ia akan bermakna, menginspirasi orang lain dan memberikan contoh melalui pemaknaan dari lukisan tersebut. Selama kita berharap bahwa sebuah lukisan terus hidup, maka tugas bingkai adalah melindunginya, mungkin sedikit memberi pemaknaan dan nuansa lebih bagi orang-orang yang menikmatinya.

Kaderisasi ada sebagai bentuk regenerasi. Berarti seharusnya kaderisasi adalah tentang bagaimana mempertahankan segala bentuk ajaran dan nilai sebuah organisasi. Perkembangan zaman — juga manusia — menuntut kita terus berinovasi. Namun yang harus diperhatikan adalah: apakah inovasi dalam kaderisasi mendistorsi nilai-nilai yang dicita-citakan pendahulu kita?

Bingkai mungkin bisa terus diganti, tapi makna dari lukisan tersebut harus tetap hidup dan tidak berganti-berganti. Tidak berkurang dan tidak bertambah. Simpelnya kalau kita mau menghargai sang seniman ada baiknya memilih bingkai yang sesuai kan?

Kasian juga ya kalo Monalisa dijadiin bahan coli.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Catatan: Tulisan ini juga merupakan bentuk evaluasi bagi diri saya pribadi sebagai seorang terkader dan pengkader. Selain itu juga sebagai masukan bagi sebuah organisasi yang saya cintai tapi lagi saya jauhi biar kangen aja gitu kan lebih nikmat.

--

--

Naufal R. Indriansyah

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between