Saya dan Orang Lain tentang Menulis

Naufal R. Indriansyah
5 min readMay 11, 2016

Saya tidak suka ada orang yang memuji tulisan-tulisan saya.

Saya lebih suka orang itu memuji salah satu saja. Dan saya lebih suka lagi orang tersebut mengkritik satu tulisan tersebut. Dan mungkin saya akan lebih senang lagi kalau orang tersebut mengkritik seluruh tulisan yang pernah saya terbitkan.

Saya berpikir bahwa orang-orang yang pernah menyebutkan kalimat seperti “Kamu rajin nulis ya” atau “Ah kan kamu memang udah biasa nulis” ini sebenarnya tidak pernah membaca tulisan saya satu per satu. Di situ kadang saya merasa sedih. Oh, mungkin bukan sedih, tapi kesal.

Kenapa, eh kenapa? Karena saya sendiri masih merasa tulisan saya kurang bagus. Berikut saya jabarkan evaluasi saya terhadap tulisan-tulisan saya secara keseluruhan:

  1. Saya tidak konsisten dalam menulis. Kalau anda perhatikan apa yang saya tulis dan bagaimana saya menulis dari awal tulisan saya (di Medium), maka kekurangan ini jelas sekali terlihat. Ada tulisan yang begitu teoritis (“berat”). Ada yang puitis tapi tetap tidak bermutu. Ada yang curhatan menonton konser sendiri.
  2. Tulisan saya membosankan. Lucunya, tidak pernah ada yang bilang tulisan saya membosankan. Padahal kalau saya lihat lagi statistik tulisan-tulisan yang cenderung membosankan (juga bagi saya), read ratio-nya tidak pernah di atas 40%. Ini membuktikan banyak yang tidak selesai membaca tulisan saya. Sedangkan tulisan saya yang baperan, read ratio-nya rata-rata di atas 50%. Meski saya tahu kalau manusia lebih tertarik pada tulisan-tulisan macam ini, terutama perempuan (maaf seksis, setidaknya di lingkaran saya begitu), tapi tetap saja sepertinya juga tidak menarik-menarik amat.
  3. Saya terburu-buru dalam menulis. Jika ada yang pernah membaca tulisan saya yang dibangun atas teori, maka kebanyakan tulisan saya sebenarnya tidak dikonstruksi dengan baik. Saya merasa sering ngelantur ketika menulis, dan saya seringkali menahan tombol backspace dalam waktu yang lama (menghapus 3–4 paragraf). Selain itu, saya juga sering merasa tulisan yang terlalu panjang memang membosankan (kembali ke poin 2).

Dari beberapa hal tersebut, saya mungkin sangat menyoroti poin nomor 2. Hal ini terutama sering saya bandingkan dengan teman-teman lain yang cukup sering menulis dan saya boleh bilang tulisannya bagus (Nayaka Angger, Aushaf Widisto, Galih Norma, dan sebagainya). Maksud saya, kembali pada persepsi orang lain soal saya, saya merasa masih banyak orang lain yang tulisannya lebih bagus dan lebih menarik.

Yang saya tangkap, saya memang lebih sering menulis, dibandingkan orang-orang lain. Tapi tidak serta merta tulisan saya bagus. Saya merasa masih harus banyak membaca, berdiskusi, dan menulis lagi.

Nah, tapi ada hal lain dari pembicaraan tentang menulis ini.

“Ah kan kamu memang udah biasa nulis”

Saya acap kali menyemangati dan mengingatkan teman-teman lain untuk menulis. Bagi yang sedang jarang menulis, saya coba ingatkan untuk menulis kembali. Dan bagi yang belum pernah menulis tapi saya perhatikan senang membaca dan berdiskusi, saya sering menyemangatinya untuk mulai menulis. Beberapa kesempatan orang-orang menanggapi seperti yang saya kutip di atas. Dan disitu, kadang saya merasa bingung.

Kenapa bagi saya menulis begitu penting? Atau, kenapa saya sangat peduli tentang tulisan dan orang yang menulis?

Orang-orang seringkali memandang menulis sebagai sebuah pekerjaan yang tidak bisa ia lakukan. Penulis dianggap sering membaca banyak buku. Penulis dianggap memiliki pengalaman yang banyak pula. Tidak jarang, ada yang beranggapan untuk menjadi penulis yang baik, perlu latar belakang hidup yang tidak normal. Penulis dianggap berwawasan luas, berpikiran dalam, dan merasakan apa yang tidak bisa dirasakan orang lain.

Saya benci dengan hal tersebut. Bukannya saya tidak suka orang yang tidak menulis, tapi beberapa orang yang enggan menulis, saya rasa terlalu meromantisasikan penulis dan menulis.

Saya belum banyak membaca. Pengalaman hidup saya juga tidak banyak-banyak amat. Manusia sering menganggap dirinya unik, dan itu biasa, tapi tetap saja saya merasa seperti layaknya manusia biasa. Saya senang musik dan olahraga. Saya sering menonton film. Saya masih cukup sering bercanda dan tertawa.

Saya rasa penulis tidak harus memiliki pengalaman hidup yang pahit, perlakuan tidak adil dalam hidupnya, dan berasal dari keluarga yang sengsara. Menulis adalah kegiatan yang sangat sederhana. Dan cukup menjadi orang yang sederhana — biasa-biasa saja — maka menulis adalah mudah. Mungkin penulis-penulis handal adalah mereka yang cocok diromantisasikan, tetapi kebanyakan juga menjadi seperti itu karena sudah (terlalu) banyak membaca dan memang terbiasa menulis. Menjadi penulis handal adalah kerja keras.

Bagi saya, menulis adalah berekspresi. Saya tidak bisa menggambar, bermain musik pun pas-pasan. Tapi apa yang sama-sama dapat dilakukan tangan ini dengan mudah oleh semua orang? Seperti kebanyakan teman seumuran, jari-jari saya dengan sangat mudahnya menari di atas keyboard atau touchpad. Budaya kekinian ini, bagi saya akan menjadi kesia-siaan ketika hanya digunakan untuk chatting atau menyusuri linimasa Instagram. Maka, untuk memberi warna tidak biasa dan signifikansi dalam hidup yang biasa-biasa saja, hal paling kecil yang bisa saya lakukan adalah menulis.

Dan lagi-lagi, saya tidak menuntut teman-teman saya juga diri saya sendiri untuk menjadi handal. Beruntunglah kalau kelak salah satu diantara kita ada yang menerbitkan buku atau jadi blogger terkenal. Tetapi saya rasa dengan segala kemudahan yang diberikan zaman ini untuk berliterasi (membaca, menulis, dan berdiskusi), maka seharusnya memulai menulis tidaklah sulit.

Mulailah dari lembaran kertas. Mulailah dengan curhatan. Mulailah dengan kegelisahan atas apa yang menurut kalian patut digelisahi, entah politik, sosial, atau bahkan kursi yang kakinya tidak rata. Bahkan menulislah tentang dosen yang tidak kompeten. Bahkan menulislah tentang konser musik, atau tentang pertandingan bola basket. Bahkan mungkin menulislah tentang menulis.

Lalu, jangan sungkan untuk berbagi. Tidak pernah ada yang sia-sia ketika kita membagikan isi pikiran dan atau hati kita, karena mungkin bicara itu lebih sulit. Setidaknya ini yang saya rasakan ketika pertama kali menulis dan membagikannya. Bahwa hal-hal kecil juga ternyata penting untuk orang lain. Juga jangan berharap ditanggapi, tapi jangan takut ketika harus ditanggapi.

Terakhir, saya benci karena ini lebih mirip tulisan self-help. Karena sebenarnya saya juga tidak terlalu suka tulisan semacam itu. Tapi tak apalah.

Kalau boleh jujur, saya merasa senang ketika ada teman-teman yang menerbitkan tulisan baru atau bahkan baru mulai menulis. Mungkin yang paling jujur dari kenapa saya begitu peduli dengan penulis dan orang yang menulis adalah semata-mata karena saya hanya ingin diri saya sendiri senang.

Tapi sama-sama senang itu indah bukan? Kalau kata Galih, “Jangan Lupa Bahagia”.

--

--

Naufal R. Indriansyah

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between